Indonesia adalah negara hukum. Penegakan hukum yang ideal harus bisa memenuhi tiga nilai dasar dari hukum yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Baik dalam tataran teoretis maupun praktis, ketiga nilai dasar tersebut tidak mudah untuk diwujudkan secara serasi.
Dalam literatur, penegakan hukum pidana melalui pendekatan sistem dikenal dengan istilah sistem peradilan pidana. Secara umum sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga penegak hukum melalui sebuah mekanisme yang meliputi kegiatan bertahap yang dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan hakim yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan.
Sistem Peradilan Pidana juga dipahami sebagai mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan
dengan penggunaan dasar sistem. Mekanisme ini pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktek administrasi peradilan pidana, sikap tingkah laku sosial, dan suatu sistem yang rasional, yang kesemuanya memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
Sistem Peradilan Pidana disebut pula sebagai sistem pengendali kejahatan yang terdiri dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan Umum dan Permasyarakatan.
Perkembangan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia diawali dengan diberlakukannya UndangUndang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pengganti hukum acara pidana warisan kolonial Belanda, yaitu Het Herziene Inlandsch Reglement.
Dalam perkembangannya saat ini peradilan pidana kini ada sistem peradilan pidana terpadu atau integratedcriminaljustice system. Model terpadu dalam penyelenggaraan peradilan pidana yang mengkaji peradilan pidana di Jepang yang memiliki karakteristik: Pertama, adanya sistem pendidikan yang memadai dari para penegak hukum yang memungkinkan mereka memiliki pandangan yang sama dalam melaksanakan tugasnya. Seleksi untuk menjadi hakim, jaksa, dan pengacara dalam penyelenggaraan peradilan pidana dilaksanakan oleh organisasi pengacara di Jepang dan setelah mereka lulus, kemudian masuk dalam pendidikan yang sama yang dikoordinasikan oleh Mahkamah Agung; Kedua,para penegak hukum profesional yang dicapai melalui pelatihan yang baik dengan disiplin yang tinggi, serta terorganisir dengan baik; Ketiga,tujuan yang ingin dicapai adalah apa yang disebut sebagai “precisejustice” atau keadilan yang pas (tepat). Konsep precise justiceini tampaknya merupakan kritik orang Jepang terhadap model peradilan pidana di Amerika Serikat yang menurut mereka hanya mengejar apa yang disebut sebagai layman justice (keadilan orang-orang awam); Keempat,adanya partisipasi masyarakat yang tinggi akibat tingkat profesionalisasi yang dimiliki oleh aparat penegak hukum di Jepang.
Sistem peradilan pidana terpadu adalah sistem yang mampu menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, kepentingan masyarakat, maupun kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.
Dalam sistem peradilan pidana terpadu, lembaga atau instansi yang bekerja dalam penegakan hukum, meskipun tugasnya berbeda-beda dan secara intern mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi pada hakikatnya masing-masing subsistem dalam sistem peradilan pidana tersebut saling bekerjasama dan terikat pada satu tujuan yang sama. Hal ini bisa terjadi jika didukung perundang-undangan yang memadai, yang memungkinkan segenap subsistem dapat bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif.
Sistem Peradilan Pidana pada hakekatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana dan juga diidentikkan dengan sistem kekuasaan kehakiman dibidang hukum pidana yang diwujudkan dalam empat sub sistem, yaitu :Kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik; Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut; Kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan, dan;Kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi.
Meskipun dilihat dari praktek yang terjadi di Indonesia masih banyak kendala yang dihadapi untuk menciptakan suatu Sistem peradilan Pidana tersebut agar Integreted (terpadu) dimana salah satu kendala yang mencolok adalah belum maksimalnya kerjasama yang terscipta diantara sub-sistem dalam sistem peradilan pidana tersebut sehingga dalam prakteknya akan mengakibatkan suatu efek bagi pelaksanaan sistem peradilan pidana secara menyeluruh.
Pemahaman terhadap sistem peradilan pidana terpadu atau SPPT yang sesungguhnya, bukan saja pemahaman dalam konsep “integrasi” itu sendiri, tetapi sistem peradilan pidana yang terpadu juga mencakup makna substansial dari urgensitas simbolis prosedur yang terintegrasi tetapi juga menyentuh aspek filosofis mengenai makna keadilandan kemanfaatan secara terintegrasi.
Sehingga dengan demikian penegakan hukum pidana materiil yang dikawal dan dibingkai oleh norma peraturan perundangan yang menjadi wilayah hukum pidana prosedural, dapat lebih didekatkan pada prinsip dan substansi penegakan hukum yang sekaligus menegakkan keadilan dan penegakan hukum yang bermartabat.
(Irawan Adi Wijaya, S.H.,M.H / Dosen STAIMAS Wonogiri)